Pengertian Ibadah Di masyrakat
TUGAS
MATA KULIAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Dosen : Fauzan A. Sandiah
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Dosen : Fauzan A. Sandiah
PENGERTIAN IBADAH DI MASYARAKAT
Oleh
:
MUHAMAD FAJAR HALSIN
(112-160-007)
MUHAMAD FAJAR HALSIN
(112-160-007)
PASCA
SARJANA
PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETARAN “
YOGYAKARTA
2016
PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETARAN “
YOGYAKARTA
2016
KATA
PENGANTAR
Assalamu alaikum
warahma tullahi wabarakatu
Puji dan syukur tak lupa kita panjatkan atas
kehadiran Allah SWT yang tekah mengarunia rahmat taufik dan hidayah nya kepada
saya sehingga saya dapat meyelesaikan makalah saya ini dengan tepat waktu.
Salawat serta salam tak lupa kami tuturkan kepada
baginda Nabi besar Muahammad Saw sehingga atas perjuangan nya lah kita umat
islam dapat keluar dari masa jahilia dan memasuki masa yang terang benderang
pada saat ini.
Alhamdulilah atas rimpahan rahmat dan hidayah Nya
saya dapat menuliskan Makalah saya yang mengangkat tema tentang Pengertian
Ibadah di Masyarakat. Saya mengangkat tema ini untuk sekedar memberikan info –
info dan referensi kepada para pembaca sehingga menambah wawasan dalam berfikir
terlebih lagi dalam ilmu Islam
Dengan makalah ini saya berharap dapat menambawah
wawasan anda sekalian sebagai pembaca dan juga apa yang saya tulis ini semoga
bermanfaat bagi umat islam dan yang terutama untuk saya sendiri ada pun ada
kata kata yang kurang berkenan mohon di maaf kan ahirul kalam.
Assalamu alaikum
warahma tullahi wabarakatu
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar …………………………………………………………
Daftar Isi …………………………………………………………
Daftar Isi …………………………………………………………
BAB
I PENDAHULUAN
1.1 latar Belakang …………………………………………………………
1.2 Tujuan …………………………………………………………
1.3 Ruang Lingkup Materi………………………………………………………...
BAB II LANDASA
TEORI
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Pengertian
Ibadah …………………………………………………………
3.2 Pengertian Sholat …………………………………………………………
3.3 Pengertian Tahara …………………………………………………………
3.4 Bulan Ramadan …………………………………………………………
3.2 Pengertian Sholat …………………………………………………………
3.3 Pengertian Tahara …………………………………………………………
3.4 Bulan Ramadan …………………………………………………………
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan …………………………………………………………
4.2 Usul dan Saran …………………………………………………………
4.2 Usul dan Saran …………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Latar belakang yang
membuat saya mengankat judul makah Pengetian Ibadah di Masyarakat
untuk sekedar memberi pengetahuan dasar dari apa yang saya ketahui dan juga sekedar untuk saling membagi ilmu dalam bidang ke agama an. Dan saya berharap dari tulisan saya ini dapat memberikan manfaat magi banyak orang. Dan juga salah satu yang membuat saya ingin melatar belakangi saya iyalah berdakwah untuk meyampaikan hal – hal yang berhubungan dengan ibadah. Seperti salah satu ayat dalam kita suci Al – Quran yakni :
untuk sekedar memberi pengetahuan dasar dari apa yang saya ketahui dan juga sekedar untuk saling membagi ilmu dalam bidang ke agama an. Dan saya berharap dari tulisan saya ini dapat memberikan manfaat magi banyak orang. Dan juga salah satu yang membuat saya ingin melatar belakangi saya iyalah berdakwah untuk meyampaikan hal – hal yang berhubungan dengan ibadah. Seperti salah satu ayat dalam kita suci Al – Quran yakni :
Surat al-baqarah ayat 139
قُلْ
أَتُحَاجُّونَنَا فِي اللَّهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ وَلَنَا أَعْمَالُنَا
وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُخْلِصُونَ (١٣٩)
Katakanlah:
“Apakah kamu memperdebatkan dengan Kami tentang Allah, Padahal Dia adalah Tuhan
Kami dan Tuhan kamu; bagi Kami amalan Kami, dan bagi kamu amalan kamu dan hanya
kepada-Nya Kami mengikhlaskan hati,
Surat
Al-A’raf ayat 29
قُلْ
أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ كَمَا بَدَأَكُمْ تَعُودُونَ (٢٩)
Katakanlah:
“Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan”. dan (katakanlah): “Luruskanlah muka
(diri)mu[A] di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan
ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan
(demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)”.
Itu lah yang melatar
belakangin saya dalam pembuatan makalh saya, semoga bermanfaat dan bergunah.
1.2. Tujuan
Tujuan saya yakni
meyampaikan beberapah hal mengenai ibadah agar praktek – praktek yaibadah di
masyarakat memilki pedoman yang benr sesuai dengan syariat islam dan di praktekan
oleh Nabi besar Muahammad Saw. Seperti dalam Firman Allah yang berbunyi :
Allah Ta’ala berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 21 dan
22,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي
خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (٢١) الَّذِي
جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ
مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ
أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu
dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa (21). Dialah yang menjadikan
bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air
(hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan
sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi
Allah, padahal kamu mengetahui.(22)
1.3.Ruang
Lingkup Materi
Ruang lingkup dalam makalah ini tidak akan membahas
dengan tuntas mengenaih ibadah namun, dalam makalah ini saya akan membahasa
dalam beberapa materi saja yaknih :
a. Pengertian
Ibadah secara umum
b. Pengertian
Sholat
c. Pengertian
Taharah
d. Awal
Ramadhan
Saya akan membahas 4 poin tersebut secara singkat
dan jelas agar mudah di pahami oleh pembaca sekalian.
BAB
II
LANDASAN TEORI
LANDASAN TEORI
Yang melandasih saya iyah kaidah dalam beribadah
yang telah di jelaskan dalam kita suci Al
Quran dan Al Sunah. Dan kaidah dalam beribadah yakni :
KAIDAH DALAM
BERIBADAH
َالأَصْلُ
فِى اْلعِبَادَةِ اَلتَّحْرِيْمُ وَالْبَطْلُ إِلاَّ مَا جَاءَ بِهِ الدَّ لِيْلِ
عَلىَ اَوَامِرِهِ
"Hukum
asal dalam beribadah adalah haram dan batal kecuali yang ada dalil yang
memerintahkan"
Ada
beberapa dalil , diantaranya adalah ayat Al Qur'an surah al Hujurat :1
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya[1407]
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui. (QS. Al Hujurat :1)
[1407]
maksudnya orang-orang mukmin tidak boleh menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada
ketetapan dari Allah dan RasulNya. Tidak boleh membuat cara ibadah sebelum ada
perintah dari Allah dan tuntunan dari Rasulullah.
فاَ
الأَصْلُ في الْعِبَادَتِ اْلبُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلىَ اْلأَمْرِ
"Hukum
asal dari ibadah adalah batal, hingga tegak dalil (argument) yang
memerintahkannya" ( Imam As Suyuthi, dalam al Asyba' wan Nadhoir: 44 dan
Ibnu Qoyyim al Jauziyah dalam I'lamul Muwaqi'ien Juz 1 hal. 344, Dar al Fikr,
Beirut))
Ibadah
pada dasarnya adalah haram dan batal. Hukum asalnya adalah haram, dan sesuatu
yang batal, tidak syah, tidak berguna dan sia-sia.
Hukum
haram dapat berubah menjadi wajib, atau sunnah apabila ada perintah dari Allah
dan Rasul-Nya.. Apabila tidak ada perintah dari Allah dan Rasul-Nya atau
apabila tidak ada dalil yang menyuruh (perintah) melakukannya, ia kembali
kepada hukum asal HARAM.
اَلأَ صْلُ
فِى اْلعِبَا دَةِ التَّوْقِيِفُ وَاْلإِ تِّبَاعُ
"Hukum
asal ibadah adalah tauqif dan ittiba' ( bersumber pada ketetapan Allah dan
mengikuti Rasul) ( Abdul Hamid Hakim dalam al Bayan : 188)
Dalinya
berdasarkan hadits :
مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُ نَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang
siapa yang membuat suatu amalan dalam agama kita ini yang tidak ada tuntunannya
(contohnya), maka amalan tersebut tertolak”. (HR. Bukhori no. 2679. HR. Muslim
no. 1718). (Hadits Shahih)
Hukum-hukum
dalam beribadah sudah baku, hak mutlak / otoritas Allah (karena Dia- lah yang
menciptakan cara beribadah sehingga tidak ada peluang bagi manusia untuk
membuat cara baru walaupun dipandang baik). Hukum dalam ibadah berupa “mandat”
dari Allah dengan cara mengikuti Rasulullah, manusia hanya menjalankan sesuai
isi mandat dan juklak ( petunjuk pelaksanaan : Al Qur'an dan Hadits Shahih).
Apabila dilaksanakan atau tidak dilaksanakan, apabila sesuai atau tidak sesuai,
ada ganjaran, yaitu pahala dan dosa.
اَلأَ صْلُ
فِى اْلعِبَا دَةِ مَأْ مُوْرٌ
"
Hukum asal ibadah adalah ( apabila ada) perintah"
Dalilnya
adalah :
"Katakanlah:
"Sesungguhnya Aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. (QS. Az Zumar : 11)
Tanpa
adanya perintah Allah atau dari Rasul-Nya, maka siapa yang memerintahkannya ?
Kalau bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya maka bisa terjatuh dalam
kesyirikan, berarti ada "tuhan" lain yang memerintahkan cara beribadah
sesuai kemauan si "tuhan" tersebut. Padahal yang membuat cara
beribadah dan cara menyembah kepada Allah hanyalah Allah semata
BAB
III
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
3.1. Pengertian Ibadah
Ibadah secara bahasa adalah tunduk atau
merendahkan diri. Sedangkan secara istilah atau syara’, ibadah
merupakan suatu ketaatan yang dilakukan dan dilaksanakan sesuai
perintah-Nya, merendahkan diri kepada Allah SWT dengan kecintaan yang sangat
tinggi dan mencakup atas segala apa yang Allah ridhai baik yang berupa ucapan
atau perkataan maupun perbuatan yang dhahir ataupun bathin. Adapun ibadah
terbagi tiga yaitu ibadah hati, ibadah lisan dan ibadah anggota badan atau
perbuatan.
a.
Ibadah
hati (qalbiah) antara lain:
memiliki rasa takut, rasa cinta (mahabbah), mengharap (raja’), senang (raghbah),
ikhlas, tawakkal.
b.
Ibadah
lisan & hati (lisaniyah wa qalbiyah) antara lain: dzikir, tasbih, tahlil, tahmid, takbir,
syukur, berdoa, membaca ayat Al-qur’an.
c.
Ibadah
perbuatan fisik dan hati (badaniyah wa qalbiyah) antara lain: sholat, zakat, haji, berjihad, berpuasa.
Masih banyak contoh-contoh lain dari jenis-jenis ibadah.
Dalam mengetahui apakah ibadah yang dilakukan diridhai atau dicintai Allah
dapat kita ketahui melalui perintahnya yang telah tertuang dalam kitab suci
Al-Qur’an dan Hadits Nabi, segala tindakan yang dilakukan karena ibadah
mengandung kebaikan bagi orang lain. Syarat ibadah dengan benar yakni ikhlas
dan ittiba’ sesuai dengan ajaran dan tuntunan Rasulullah SAW.
3.2. Pengertian Sholat
Secara etimologi shalat berarti do’a
dan secara terminology (istilah), para ahli Fiqih mengartikan secara lahir dan
hakiki.
Secara lahiriah Shalat berarti ‘Beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah menurut syarat-syarat yang telah ditentukan’(Sidi Gazalba,88).
Secara hakiki Shalat ialah ‘Berhadapan hati, jiwa dan raga kepada Allah,secara yang mendatangkan rasa takut kepada-Nya atau mendhairkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan perbuatan’ (Hasbi Asy-syidiqi,59)
Dalam pengertian lain Shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk ibadah yang didalamnya merupakan amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ (Imam Basyahri Assayuthi,30).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Shalat adalah Suatu ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan dengan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ berupa penyerahan diri secara lahir batin kepada Allah dalam rangkah ibadah dan memohon ridho-Nya.
Secara lahiriah Shalat berarti ‘Beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah menurut syarat-syarat yang telah ditentukan’(Sidi Gazalba,88).
Secara hakiki Shalat ialah ‘Berhadapan hati, jiwa dan raga kepada Allah,secara yang mendatangkan rasa takut kepada-Nya atau mendhairkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan perbuatan’ (Hasbi Asy-syidiqi,59)
Dalam pengertian lain Shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk ibadah yang didalamnya merupakan amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ (Imam Basyahri Assayuthi,30).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Shalat adalah Suatu ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan dengan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ berupa penyerahan diri secara lahir batin kepada Allah dalam rangkah ibadah dan memohon ridho-Nya.
3.3. Pengertian Taharah
Thaharah menurut bahasa
berarti bersuci. Menurut syara’ atau istilah adalah membersihkan diri, pakaian,
tempat, dan benda-benda lain dari najis dan hadas menurut cara-cara yang
ditentukan oleh syariat islam.
Thaharah atau bersuci adalah syarat wajib yang harus dilakukan dalam beberapa
macam ibadah. Seperti dalam QS Al-maidah ayat : 6
[5:6]
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Thaharah
atau bersuci menurut pembagiannya dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :
a. Bersuci
lahiriah
Beberapa contoh yang bersifat
lahiriah adalah membersihkan diri, tempat tinggal dan lingkungan dari segala
bentuk kotoran, hadas dan najis. Membersihkan diri dari najis adalah
membersihkan badan, pakaian atau tempat yang didiami dari kotoran sampai hilang
rasa, bau dan warnanya. QS Al-Muddassir ayat : 4
[74:4]
dan pakaianmu bersihkanlah,
b. Bersuci
batiniah
Bersuci batiniah adalah membersihkan
jiwa dari kotoran batin berupa dosa dan perbuatan maksiat seperti iri, dengki,
takabur dll. Cara membersihkannya dengan taubatan nashoha yaitu memohon ampun
dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
3.4. Bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan
merupakan bulan yang suci dan bulang yang sangat indah bagi umat muslim di
seluruh dunia. Dalam bulan ramdhan kita mendapatka keistimewaan yang lebih
banyak di bandikan dengan bulan – bulan yang lain.
Namun dalam makalah
saya ini saya tidak akan membahasa lebih jauh, namun saya akan membahas tentang
dua bagian saja yakni :
a. Hisab
dan Awal Ramadhan
b. Shalat
Tarawih
Jadi ke dua poin itu saja yang akan saya bahas dan
untuk pembahsan nya yakni ialah :
a. Hisab
dan Awal Ramadhan
Kaum muslimin diperintahkan Allah
untuk mengikuti dan mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
seluruh syari’atnya. Demikian pula yang berkaitan dengan penentuan ibadah besar
seperti puasa Ramadhan, Idul Fithri dan Haji. Oleh karena itu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas mengajarkan cara penentuannya dengan
rukyat hilal (melihat hilal) dengan mata dan bila terhalang mendung atau yang
sejenisnya maka dengan cara menyempurnakan bulan sya’ban 30 hari untuk Ramadhan
atau Ramadhan 30 hari untuk Syawal .
Demikianlah contoh dan ajaran Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam permasalahan ini, sehingga hukum berpuasa
Ramadhan dan berbuka dari bulan Ramadhan bergantung kepada rukyah hilal. Tidak
berpuasa kecuali dengan melihatnya dan tidak berbuka dari Ramadhan kecuali
dengan melihatnya langsung dan seandainya melihat dengan alat teropong dan
alat-alat yang dapat memperjelas penglihatan maka itu dianggap sebagai
penglihatan dengan mata.
Rukyah (melihat hilal) lah yang
menjadi dasar syar’i dalam hukum puasa dan Idul Fithri. Adapun hisab tidak
dapat dijadikan sandaran dalam penentuan puasa menurut syari’at.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata: Tidak diragukan lagi hal ini telah ditetapkan dengan dasar sunnah yang
shahih dan atsar para sahabat, sungguh tidak boleh bersandar kepada hisab.
Orang yang bersandara kepada hisab telah menyimpang dari syari’at dan berbuat
kebid’ahan dalam agama. Dia telah salah secara akal dan ilmu hisab sendiri,
karena ulama hisab telah mengetahui bahwa rukyat tidak dapat ditentukan dengan
perkara hisab, karena hilal tersebut berbeda-beda sesuai dengan perbedaan
ketinggian dan kerendahan suatu tempat dan lainnya.
Imam Ibnu Daqiqil Ied berkata:
Menurut pendapat saya, hisab tidak boleh dijadikan sandaraan dalam puasa.
Ketika mengomentari hadits “إِنَّا
أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ ”: Imam Ibnu Hajar al-Asqalani
berkata : ‘Pada mereka (bangsa Arab) ada orang yang dapat menulis dan
mengetahui hisab, (dinamakan umiyun) karena yang menulis sangat sedikit sekali.
Yang dimaksud hisab dalam hadits ini adalah hisab nujum dan perjalanannya
(falak) dan mereka hanya sedikit yang mengerti hal ini, sehingga hukum berpuasa
dan lainnya tergantung kepada rukyah agar tidak menyulitkan mereka karena
sulitnya hisab. Lalu hukum ini berlaku terus pada puasa walaupun setelahnya
banyak orang yang telah mengetahui hisab. Bahkan dzahir hadits dipahami tidak
adanya hukum puasa dengan hisab. Hal ini dijelaskan dalam hadits-hadits lainnya
yang berbunyi: فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّة ثَلاَثِيْنَ dan
tidak menyatakan: “Tanyalah kepada Ahli Hisab!”.
Lalu beliau rahimahullah berkata
lagi: ‘Sebagian kaum berpendapat merujuk kepada ahli hisab. Mereka adalah Syiah
Rafidhah, dan dinukilkan dari sebagian ahli fiqih bahwa mereka menyetujuinya,
Al Baaji berkata: ‘Ijma’ Salafush Shalih sudah menjadi hujjah atas mereka’. Dan
Ibnu Bazizah berkata: ‘Ini adalah madzhab yang batil, sebab syari’at telah
melarang memperdalam ilmu perbintangan, karena ia hanyalah persangkaan dan
hipotesa semata tidak ada kepastian dan tidak juga perkiraan yang rajih (zhann
rajih). Ditambah lagi seandainya perkara puasa dihubungkan dengannya. Maka
tentulah menyulitkan, karena yang mengetahuinya sedikit sekali.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
berkata: Tidak wajib berpuasa dengan penentuan hisab, seandainya ulama hisab
menetapkan bahwa malam ini termasuk Ramadhan, namun mereka belum melihat hilal
maka tidak berpuasa. Karena syari’at menggantung hukum berpuasa ini dengan
perkara yang terindera yaitu rukyat hilal.
Jadi jelaslah hisab tidak dapat
dijadikan sandaran dalam penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Haji.
b.
Shalat Tarawih
Diantara ibadah yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad SAW pada
bulan Ramadhan yang penuh berkah ini adalah shalat tarawih. Kita dapat melihat
dan merasakan, bahwa setiap kali Ramadhan tiba, semua kaum muslimin bersemangat
untuk mendatangi masjid-masjid untuk menunaikan ibadah yang mulia ini.
Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jama' dari “tarwihatun” yang berarti waktu sesaat untuk istirahat. Shalat Tarawih dilaksanakan secara berjamaah pada malam-malam bulan Ramadhan. para jamaah bekumpul untuk shalat tarawih kemudian beristirahat setelah dua kali salam (yaitu setelah melaksanakan 2 rakaat ditutup dengan salam kemudian mengerjakan 2 rakaat lagi lalu ditutup dengan salam). Adapun shalat tarawih tidak disyariatkan untuk tidur terlebih dahulu dan shalat tarawih hanya khusus dikerjakan di bulan Ramadhan.
Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jama' dari “tarwihatun” yang berarti waktu sesaat untuk istirahat. Shalat Tarawih dilaksanakan secara berjamaah pada malam-malam bulan Ramadhan. para jamaah bekumpul untuk shalat tarawih kemudian beristirahat setelah dua kali salam (yaitu setelah melaksanakan 2 rakaat ditutup dengan salam kemudian mengerjakan 2 rakaat lagi lalu ditutup dengan salam). Adapun shalat tarawih tidak disyariatkan untuk tidur terlebih dahulu dan shalat tarawih hanya khusus dikerjakan di bulan Ramadhan.
BAB IV
PENUTUP
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat saya ambil yakni ibadah apa pun itu
tergantung dari niat sesorang jika enkau beribadah dengan tulus dan iklas
semata – mata karna Allah SWT maka ibadah apapun yang kamu lakukan baik yang
telah di bahas dalam materi makalah ini atau pun pembahasa yang lain yang tidak
sempat saya sampaikan, selama itu sesuai denga ajara baginda Rasulluah Saw dan
di anjurkan atau di contoh kan maka kerjakan lah dan selalu memohon bimbingan
dari yang maha kuasa karena tampa
bibingan nya kita kan menempuh jalan yang sulit maka kesimpulan nya ialah
selalu “ Ber DOA dan Berserah Diri Kepada Sang Pencipta Semoga Apa yang Kamu
Kerjakan Beramal Ibadah di Mata Nya ”
5.2. Usul dan Saran
Dalam hati yang paling dalam saya
sungguh berterima kasih jika pembaca dapat memahami apa yang saya tulis dalam
makalah saya kali ini. Semua kritik, Usul Maupun saran saya dengan senang hati menerima usul atau
kritik yang membangun maka dari itu saya ucapkan terima kasih, dan apa bilah
dalam penulisan saya ada sepata kata yang kurang berkenan mohon di maaf kan karna
saya hanya manusia yang lemah dan pasti memiliki kelemahan.jadi akhir kata dari
saya
TERIMA KASIH
Assalamu
alaikum warahma tullahi wabarakatu
Komentar
Posting Komentar